Gua masih ingat jelas, karena SD gua dulu gedungnya sama dengan SMP dan SMA, kami jadi sering ngeliat kakak-kakak dan abang-abang kelas bertebaran di sekolah. Terkadang pada hari-hari tertentu, kami bahkan bisa punya jam istirahat yang sama. Pernah suatu hari, tepat di hari dimana jam istirahat kami (waktu itu gua masih SD) bersamaan dengan semua kakak-kakak kelas, kami bertiga (gua dan dua temen gua) berdiri di kantin sambil ngemut permen. Sekali-kali kami melihat sekeliling, kearah kakak-kakak kelas kami. Lalu kami mulailah menebak-nebak, akan jadi seperti apa diri kami sendiri saat nanti kami sudah SMA?
Temen gua yang namanya Nessa (ini merupakan nama samaran) menunjuk seorang kakak kelas berkulit putih dengan rambut sebahu yang tingginya standard. Kakak kelas itu sedang berdiri dan makan keripik pedas. Kami rasa mungkin saja Nessa akan benar-benar jadi seperti itu nanti. Karena Nessa memang berkulit putih dan berambut sebahu waktu kami masih SD.
Temen gua yang satu lagi namanya Winda (juga merupakan nama samaran) menunjuk seorang kakak kelas berambut hitam lebat sepinggang yang berkulit putih, namun sedikit lebih hitam dari pilihan Nessa tadi. "Aku mau jadi kayak cici itu." Kata Winda sambil menunjuk kakak kelas itu. Gua dan Nessa melihat Winda yang waktu itu berambut cukup pendek dan berkata :"Loe yakin mau manjangin rambut ampek segitu?"
Sekarang giliran gua. Gua mulai mengedarkan pandangan dan akhirnya pilihan gua jatuh kepada kakak-kakak berbaju rapi berkacamata di pojokan. Gua suka banget sama cara cici itu berdiri bersama teman-temannya yang membuat dia seakan terlihat lebih dewasa. Gua juga suka rambutnya, panjang lebat dan dibiarkan tergerai begitu saja, pasti terasa sangat lembut.
Beberapa tahun setelah itu, saat kami semua akhirnya duduk dibangku SMA, perkiraan Nessa ternyata tidak jauh meleset, dia memang memiliki rambut sebahu, dan berkulit putih.
Winda akhirnya memilih berambut sebahu saat sudah SMA dan sama sekali tidak berniat memanjangkannya, mungkin yang membuatnya sangat berbeda dari pilihannya waktu itu adalah pembawaannya yang tomboy. Sementara kakak kelas berambut panjang yang dulu dipilihnya terlihat sangat feminim.
Mungkin yang paling jauh meleset adalah gua. Gua sama sekali tidak seperti cici yang super-duper dewasa itu. Gua memang akhirnya berkaca mata (yang paling tebal di kelas), namun wajah gua sama sekali tidak memiliki kesan pintar. Gua juga lebih suka membiarkan rambut gua terkuncir rapi dari pada membiarkannya terurai. Nyatanya, tingkah gua masih seperti anak kecil, penuh dengan lelucon dan kekonyolan.
Yaah... entah sesuai dengan perkiraan kita atau tidak, bukankah kita selalu melihat orang yang lebih dewasa dari kita dan membayangkan akan jadi seperti apa kita nanti?
Yang pasti, sejalan dengan umur yang terus bertambah, kita ingin jadi lebih baik. Gua gak harus jadi sama dengan cici berkaca mata yang dulu gua lihat. (Setelah dikenang kembali, bahkan gua juga gak tahu siapa namanya.) Tetapi yang penting gua tetap berusaha jadi diri gua sendiri, dan menjadi diri gua yang lebih baik lagi.
’Growing old is inevitable. Growing up is a matter of choice...’
Salam, Felicia |
No comments :
Post a Comment